Pada abad ke-12, di sebuah desa kecil bernama “Caleruega” hiduplah di kastil yang sederhana keluarga Guzman, keluarga bangsawan Spanyol. Ibu Yoana de Aza dan Bapak Felix de Guzman, sang pemilik rumah, sedang menantikan kelahiran seorang anak yang istimewa.
Pada suatu malam, Ibu Yoana bermimpi. Ia melihat seekor anjing hitam putih membawa obor menyala, berlari mengelilingi dan menerangi dunia dengan nyala apinya. Karena terkesan dengan mimpi itu, maka ia pergi ke Silas untuk bertanya kepada abbas di sana mengenai arti dari mimpinya itu.
Abbas yang suci itu menafsirkan mimpinya yang menyatakan bahwa anak yang dikandungnya itu akan menjadi seseorang yang akan menerangi dunia dengan kekudusan dan pewartaannya. Akhirnya, anak tersebut lahir dan sebagai rasa syukur anak tersebut diberi nama “Dominikus” sebagai penghormatan kepada St. Dominikus sang Abbas, pelindung biara. Dan lihatlah, sebuah bintang bersinar di dahinya!
Sebagai seorang anak, jiwa Dominikus sudah dipenuhi dengan semangat pengorbanan diri dan belarasa. Saat orangtuanya sudah tidur, ia akan meninggalkan tempat tidurnya dan tidur di lantai kamarnya. Dominikus tumbuh besar di lingkungan keluarga Kristiani yang bahagia.
Masa studinya diawali bersama pamannya yang adalah seorang imam. Pamannya melihat bahwa Dominikus sangat bersemangat dalam belajar terutama ketika pamannya mengajarkan Sabda Tuhan. Karena kepandaiannya, saat ia berumur 14 tahun, Dominikus dikirim oleh kedua orangtuanyake Universitas Palencia, universitas yang paling bergengsi pada masa itu. Ayah dan ibunya amat berharapa dapat melihat anak mereka menjadi seorang imam. Dominikus selalu tekun dalam studinya, hingga pengetahuannya berkembang.
Ketika suatu wabah menyebar di Palencia, karena melihat penderitaan orang-orang dan demi menyediakan kebutuhan mereka, Dominikus rela menyerahkan hartanya yang paling berharga, yakni buku-bukunya. “Saya tidak mau belajar dari perkamen kulit mati ini sementara orang-orang sekarat karena kelaparan.”Beberapa tahun kemudian, apa yang diharapkan kedua orangtuanya menjadi kenyataan: Dominikus ditahbiskan menjadi seorang imam.
Uskup Martin de Bazan, Uskup Osma, yang melihat kekudusan hidup Dominikus, mengangkatnya menjadi seorang superior kanon regular keuskupannya. Perlahan tapi pasti, Dominikus muda semakin bertumbuh bagaikan tunas pohon zaitun yang menjulang ke surga. Setelah pensiun, Uskup Martin de Bazan digantikan oleh Uskup Diego de Azevedo, yang kemudian memimpin keuskupan dibantu oleh Dominikus.
Ketika berusia 35 tahun, suatu peristiwa penting mengubah hidup Dominikus. Ketika itu, Raja Alfonsus VIII menugaskan Uskup Osma menjadi duta kerajaan Spanyol untuk membawa putri kerajaan Denmark, calon istri pengeran Spanyol. Ketika sampai di suatu tempat di Toulouse, Perancis Selatan, mereka bermalam di suatu penginapan. Di situlah Dominikus pertama kali berjumpa dengan pemilik penginapan yang menganut ajaran sesat Albigensian, atau disebut juga Katar.
Pada malam harinya, Dominikus berbincang-bincang dengan pemilik penginapan itu dan berdebat dengannya semalam suntuk tentang ajaran-ajaran Gereja yang benar. Akhirnya, pemilik penginapan memahami penjelasan Dominikus dan bertobat, kembali mengimani Gereja Katolik dan Allah yang satu dan sejati. Setelah peristiwa itu, Dominikus dan Diego pergi ke Roma untuk menemui Paus Inosensius III untuk membicarakan misinya di tengah kaum Kuma, akan tetapi Paus mengutus mereka pergi kepada kaum Katar di Languedoc.
Di Languedoc, Dominikus yang kemudian dikenak dengan nama “Saudara Dominikus” bekerja keras menulis argumen-argumen membela Injil yang benar. Kaum Katar menantang untuk menguji kebenaran dengan cara melemparkan kertas-kertas berisi argumen itu ke dalam api, tulisan yang tidak terbakarlah yang berisi kebenaran dari Allah.
Sungguh ajaib! Meskipun mereka telah tiga kali melemparkan tulisan Dominikus ke dalam api, kertas-kertas itu hanya melayang di atas api tanpa terbakar. Namun meski dengan mukjizat ini, kaum Katar tetap keras kepala dan menolak untuk percaya.
Setelah kembali ke Spanyol, Dominikus dan Uskup Diego mengunjungi biara Sistersian. Diego ingin bergabung dengan Ordo Sistersian, namun panggilan untuk hidup kerasulan masih terus ada dalam hatinya.
Menjelang akhir 1206, Diego dan Dominikus mengkhawatirkan kondisi buruk dari beberapa wanita bangsawan yang telah dipercayakan keluarganya untuk dididik oleh para penganut ajaran sesat. Diego dan Dominikus menyiapkan sebuah tempat agar para wanita tersebut dapat sepenuhnya membaktikan diri kepada Allah, bebas dari ajaran sesat. Dan mereka adalah “bulir-bulir gandun” pertama dari panenan yang terbesar: suster-suster kontemplatif dari Prouille.
Diego de Azevedo ingin menemui Paus untuk meminta dukungannya untuk misi ini, tetapi kemudian kematian datang kepadanya, menghadiahkan mahkota kehidupan atas segala perbuatan baiknya. Dominikus amat berduka dan sendirian. Dalam pikirannya, ia sepenuhnya terobsesi dengan hasrat besar akan pewartaan kebenaran melawan penganut ajaran sesat. Prouile menjadi secercah sinar pertama dari spiritualitas yang bersinar menembus dunia yang gelap. Di sana, Dominikus melepaskan kelelahannya setelah berhari-hari berkhotbah.
Orang-orang mulai mengikuti Dominikus. Di antara rekan-rekan pertamanya, ada Arnoldus de Camprano, Herman de Huesca, dan banyak orang mengikutinya setelah mereka. Para Uskup sangat menghargai karyanya, sehingga mereka berniat mengangkatnya menjadi seorang Uskup juga. Tetapi ia menolak dengan berkata,” Aku sibuk dengan pendirian kelompok pengkhotbah dan pendampingan para suster di Prouile.”
Dominikus dan Fulk, Uskup Toulouse yang baik, pergi ke Roma untuk memohon restu Paus Inosensius III atas rencana pendirian Ordo Pewarta. Di Toulouse, Uskup Fulk memberikan Kapel St. Romanus kepada mereka pada tahun 1216. Di sana, biara pertama Ordo Pewarta didirikan.
Kemudian, datanglah sebuah berita duka: Paus Inosensius III meninggal. Tetapi penggantinya, Paus Honorius III, yang telah mengetahui kekudusan Dominikus, mengesahkan Ordo pada tanggal 22 Desember 1216. Ordo Pewarta kemudian berkembang luas ke seluruh penjuru dunia.
Dominikus tutup usia di biara Santo Nikolas di Bologna pada tahun 1221 setelah menderita sakit parah. Para saudara mengenakannya jubah yang sama dengan jubah yang diberikannya kepada mereka. Banyak Uskup dan pemimpin biara yang hadir dalam pemakamannya. Uskup Ostia, yang kemudian menjadi Paus Gregorius IX, memakamkan tubuhnya yang terberkati dengan devosi yang besar di gereja para saudaranya. (Sumber: Buku Dominikus de Guzman Sang Cahaya Gereja, Fray Javier Serrano, OP)