Meski Buta, Seorang Dominikan Awam Bantu Umat Kristiani di Pakistan

Sabir Michael buta sejak lahir. Namun ia menjadi orang pertama dan penyandang tuna netra Katolik satu-satunya di Pakistan yang berhasil meraih gelar PhD.

 “Tesis saya tentang masalah sosial-ekonomi yang dihadapi umat Kristiani dan Hindu di Karachi menjadi misi saya. Kedua komunitas ini pada umumnya miskin dan mengalami diskriminasi yang sama. Maka penting mendokumentasikan dan memahami fenomena yang saya hadapi sendiri dan melangkah maju,” kata Michael, seorang Dominikan awam, kepada ucanews.com.

Dominikan awam hidup di dunia sebagai orang yang menikah atau selibat sesuai aturan yang berlandaskan pada semangat St. Dominikus dan misi dari Ordo Dominikan.

“Situasi hak asasi manusia (HAM) di Pakistan memburuk. Konstitusi sendiri menjadikan kami sistem kelas kedua. Mungkin ada sebuah kebijakan yang belum dipublikasikan untuk menjaga kelompok minoritas agama pada level tertentu dan mengabaikan perkembangan mereka. Bahkan di abad ke-21, peralatan mereka masih dipisahkan,” katanya.

“Kami menjadi target kelompok ekstremis ketika dunia bereaksi menentang umat Islam,” lanjutnya.

Sebagai bagian dari gelar PhD-nya, Sabir Michael menyelesaikan sebuah tesis tentang masalah sosio-ekonomi yang dihadapi umat Kristiani dan Hindu di Karachi. (FOto: YouTube/ucanews.com)

 

Michael, kini berusia 40 tahun, mengajar pengembangan karya sosial di Universitas Karachi dan juga anggota Komisi HAM Pakistan, Komisi Nasional Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Pakistan serta Dewan Kesejahteraan Sosial Propinsi Sindh.

Ia mengetuai dua lembaga swadaya masyarakat (LSM), salah satunya menangani hak-hak warga yang rentan seperti perempuan, anak-anak, kelompok minoritas dan penyandang disabilitas. Tahun 2016, ia menjadi bagian dari USAID/Asosiasi Alumni Pakistan.

Semua ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan Gereja Katolik, khususnya karena ayahnya adalah pekerja sanitasi yang miskin sebelum pensiun tiga tahun lalu.

“Dua saudara saya juga buta tapi mereka menyelesaikan studi mereka. Seorang novis asal Inggris dari Kongregasi Puteri-Puteri Hati Maria bertemu saya ketika saya berumur tujuh tahun dan mengirim saya ke sebuah panti tuna netra yang dikelola oleh seorang imam asal Italia di Okara, sebuah kota di Punjab,” katanya.

Dulu Michael adalah satu dari 50 pelajar tuna netra dari seluruh negeri itu.

“Saat kelas tujuh, saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang berbeda dan lebih berkualitas dibanding lainnya. Benazir Bhutto dan Nelson Mandela adalah idola saya di bidang HAM dan keadilan sosial. Hobi saya dulu menerjemahkan pidato mereka,” lanjutnya.

“Dulu saya biasanya meminta teman-teman untuk membacakan buku untuk saya. Imam itu dan beberapa teman Muslim bahkan mendukung pendidikan doktoral saya. Umat Gereja mempersiapkan saya untuk berjuang dalam masyarakat,” katanya.

Tantangan

Michael mengklaim bahwa ia pernah mengalami berbagai macam diskriminasi.

“Ini pendapat saya, Islami Jamiat Taleba atau sebuah organisasi pelajar menentang penerimaan saya di Universitas Lahore meskipun ada kuota bagi penyandang tuna netra,” katanya.

“Saya seorang Kristiani, buta dan aktivis yang vokal. Saya harus kembali ke kota pelabuhan bagian utara Karachi di mana saya mengalami diskriminasi etnis sebagai warga Punjab. Pekerjaan di universitas itu hanya mungkin terjadi setelah adanya tekanan dari masyarakat sipil dan partai politik. Ini adalah pengalaman yang menyedihkan,” katanya.

“Para pejabat memutuskan apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh penyandang tuna netra meskipun semua tes berhasil dilewati. Buku-buku braile harganya mahal dan sedikit jumlahnya. Kami punya masalah mobilitas karena jalan yang rusak dan tidak ada jalur landai. Keluarga biasanya menyembunyikan anggota mereka yang buta karena stigma sosial. Kami tidak butuh simpati melainkan empati,” lanjutnya.

Pada  2014, pemerintah Punjab menaikkan kuota pekerjaan untuk penyandang tuna netra dari dua persen menjadi tiga persen. Namun Asosiasi Tuna Netra Seluruh Punjab mengkalim bahwa kuota baru itu sulit diimplementasikan.

“Kuota itu, sebuah aturan, bersifat tidak wajib di sektor privat. Mereka diijinkan untuk mengabaikan ini dan menyerahkan gaji kepada pemerintah yang bisa menggunakannya untuk kesejahteraan penyandang tuna netra. Celah seperti itu mematahkan semangat kami,” kata Michael.

Meskipun ada banyak tantangan, ia merasa wajib melayani kelompok minoritas khususnya setelah bertemu St. Yohanes Paulus II  tahun 2000 di Roma. “Allah senantiasa memberkati kalian – jangan tinggalkan Pakistan,” katanya, seraya mengutip pernyataan Paus.

Aktivitas Gereja

Selain memperjuangkan HAM, Michael memimpin paduan suara di Gereja St. Paulus dan membantu pastor paroki dalam membentuk perkumpulan St. Dominikus  tahun 2002 di Karachi. Kelompok ini memberi kursus Kitab Suci kepada anggota, mempersiapkan umat awam untuk menjadi pelayan Ekaristi, melakukan kunjungan doa dan mengadakan doa untuk orang sakit di 18 paroki di keuskupan agung bagian selatan.

Ayah dari tiga anak itu juga menjadi pembicara relawan di Institut Teologi Katolik Nasional. Di sana ia membantu pelajar dalam penelitian mereka.

“Saya membiayai pendidikan 10 pelajar. Penglihatan saya tidak pernah sembuh tapi saya merasa wajib melayani Gereja dan menggunakan ketrampilan saya untuk bekerja demi perubahan dalam masyaraklat,” katanya.

Pastor Mario Rodrigues, pastor Paroki Katedral St. Patrick, berterima kasih kepada Michael atas bantuan teknisnya sebagai motivator.

“Ia menggunakan cacatnya sebagai batu loncatan dan menjadi teladan bagi mereka yang tidak berbuat apa-apa dalam saat-saat yang sulit,” katanya.

(Disadur dari http://indonesia.ucanews.com)

 

Download
Aplikasi Play Store
Doa Ofisi (Brevir)

 

© 2021 Yayasan Martinus De Porres